Muhammad Syauqi (1829-1887 M) adalah salah satu kaligrafer mashyhur daulah Utsmaniyyah yang sangat berdedikasi dalam kaligrafi. Karakter tulisanya terutama pada khat Tsulus Adi dan Naskhi sangat indah dan khas. Bahkan beberapa kalangan menganggap khat Tsulus Adi dan Naskhi Muhammad Syauqi adalah yang terbaik yang merepresentasikan puncak keindahan kedua jenis khat tersebut. Hingga saat ini, kurrosah (buku panduan) khat Naskhi dan Tsulus Adi Muhammad Syauqi terus dijadikan acuan dalam belajar dan sebagai acuan dalam penilaian lomba. Sebagaimana kaligrafer masyhur lainya, Muhammad Syauqi sangat produktif dalam berkarya. Tulisanya sangat beragam baik berupa mushaf Al-Qur’an, kitab do’a dan wirid, kurrosah, dan tulisan lainya seperti hilyah syarifah serta qit’ah yang berisi hadits-hadits mulia Nabi.[1]
Diantara berbagai macam karya dengan berbagai bentuk dan redaksinya, ada satu karya menarik yang isinya tidak diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Tetapi karya tersebut bertuliskan nasihat dalam bahasa Arab untuk para penulis dan kaligrafer. Karya ditulis menggunakan khat jenis Naskhi dengan beberapa hiasan ornamental yang mengisi ruang kosong, dan dibingkai menggunakan kertas ebru atau paper marbling yang dibatasi menggunakan garis emas. Berikut adalah foto karya dan terjemahanya:
[1] Musthafa Ughur Derman, “Al-Khattath Muhammad Syauqi Afandi,” in Amsyaq Al-Khattath Muhammad Syauqi Fi Tsuluts Wa Naskh, 2nd ed. (Istanbul: IRCICA, 2010).
Bismillahirrahmanirrahim
Wahai para penulis dan kaligrafer, semoga Allah menolong kalian untuk taat kepada-Nya dan menjauhkan kalian dari maksiat. Sesungguhnya keterampilan ini (khat) adalah mulia yang tinggi nilainya, besar kebanggaanya, dan sarat akan makna yang tidak dapat dipahami oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman yang baik, dan tidak bisa didapatkan kecuali oleh orang yang memiliki keberuntungan besar. Bahkan pikiran orang-orang yang berpengetahuan dibuat bingung dan gagasan serta inovasinya salah karena banyaknya contoh dan cara penulisan dalam khat.
Khat adalah harta yang tidak akan habis, suatu kemuliaan yang tak diragukan, dan keindahan yang tidak akan pudar yang dengannya seorang hamba hina dapat duduk dan memiliki eksistensi di majelis para raja. Jika mati dia menjadi kaya dan seandainya faqir maka sudah seharusnya untuk berupaya keras mencari keterampilan yang mulia ini, sehingga dengan khat dapat tercapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang luhur, Insya Allah.
Allahumma Shalli wa Sallim ‘Ala Asyrafil Khalqi Muhammadin wa Alihi at-Thayyibin at-Thahirin.
Muhammad Syauqi, 1291 H / 1875 M
Muhammad Syauqi menegaskan pada nasihat tersebut bahwa “khat adalah suatu keterampilan yang mulia dan tinggi nilainya, besar kebanggaanya, dan sarat akan makna yang tidak dapat dipahami oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman yang baik, serta tidak bisa didapatkan kecuali oleh orang yang memiliki keberuntungan besar.”
Dalam sejarah kebudayaan Islam, kaligrafi memiliki tempat istimewa dibandingkan dengan kesenian lainya seperti lukisan geometri (arabesque), ragam hias tetumbuhan (zukhrufah nabatiyah), dan arsitektur yang tidak berkaitan langsung dengan penyebaran kitab suci Al-Qur’an. Adapun kaligrafi muncul pertama kali untuk mendokumentasikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits dalam teks tertulis, sehingga tak mengherankan apabila kesenian ini dianggap yang paling jelas ciri Islamnya. Lebih lanjut kaligrafi sepenuhnya merupakan ciptaan manusia dengan ikhtiar akal budinya sebegai homo intelectus yang oleh para seniman muslim diolah kreasikan berdasarkan nilai-nilai keislaman dan Tauhid. Berdasarkan pandangan inilah maka kaligrafi dipilih menjadi simbol utama seni Islam[1] dan sering disebut sebagai Fann al-Muqoddas (seni yang suci) karena penggunaanya untuk menuliskan ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an.
Maka jelaslah bahwa kaligrafi merupakan suatu keterampilan atau kesenian yang mulia dan tinggi nilainya yang patut dibanggakan. Dalam hal ini Dr. Isytiaq Husain Qureshyi, sejarawan Pakistan mengemukakan bahwa “Kaligrafi merupakan prestasi seni rupa Islam yang sukses luar biasa, terbesar dan paling akrab dengan jiwa kaum muslimin. Kaligrafi dipilih sebagai media utama dalam mengekspresikan rasa keindahan karena tidak ada bentuk seni lainya yang mengandung abstraksi yang sangat lengkap dan mutlak. Asas kaligrafi adalah keindahan bentuk, tetapi bentuk itu bukanlah tiruan suatu obyek.”[2]
Kemudian Muhammad Syauqi menjelaskan bahwa banyaknya contoh dan cara penulisan dalam khat membuat bingung pikiran orang-orang yang berpengetahuan bahkan ketika mereka melakukan inovasi-inovasi serta membuat terobosan dalam khat tidak selalu berhasil. “Bahkan pikiran orang-orang yang berpengetahuan dibuat bingung dan gagasan serta inovasinya salah karena banyaknya contoh dan cara penulisan dalam khat.”
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa untuk mempelajari kaligrafi dan melakukan inovasi terhadapya tidaklah mudah. Banyaknya pengetahuan serta hasrat untuk berinovasi saja tidaklah cukup, tetapi juga harus dilengkapi dengan hal-hal lain seperti belajar yang intensif kepada guru, penelitian yang mendalam terhadap dasar-dasas keilmuan kaligrafi, dan niat lurus yang tidak hanya berorientasi pada pendapatan dan popularitas diri. Dalam hal ini, Muhammad Syauqi adalah salah satu contoh terbaik untuk kita jadikan role model dalam belajar dan melakukan inovasi kaligrafi. Pencapaian-pencapaian luar biasa beliau dalam kaligrafi terutama pada khat Naskhi dan Tsulus tidak serta-merta didapatkan dengan cara instan. Jauh sebelum itu, Muhammad Syauqi belajar khat Naskhi, Tsulus, dan Riq’ah kepada pamanya Muhammad Khulusi Afandi dan memperoleh ijazah pada tahun 1257/1841 ketika usianya baru dua belas tahun. Ketika melihat kesungguhan dan berbakatnya Syauqi tersebut, atas kerendahan hati Muhammad Khulusi berkata bahwa apa yang beliau ajarkan sudah cukup, dan beliau menyarankan agar Syauqi muda belajar kepada kaligrafer yang lebih hebat ketika itu yaitu Qadhiaskar Mustafa Izzat. Namun, Syauqi berkata kepadanya, “Saya tidak akan mencari guru lain selain Anda.” yang kemudian Khulusi mendoakan murid serta keponakanya itu dengan baik dan berharap dia berhasil.[3] Selain kesungguhan dalam belajar dan penghormatan yang luar biasa kepada guru sebagaimana cerita di atas, penelitian Muhammad terhadap dasar-dasar keilmuan dan ragam gaya penulisan khat juga sangat mendalam. Terbukti sebelum menulis kurrosah/amsyaq (buku panduan) khat Naskhi dan Tsulus pada tahun 1289 H yang dianggap sebagai karya masterpiece-nya, beliau sudah menulis beberapa kurrosah seperti kurrosah yang meniru tulisan kaligrafer Mahmud Jalaluddin pada tahun 1274 H dan banyak karya lainya berupa qit’ah, hilyah, dll. yang ditulis sebelum tahun 1289 H.
Banyaknya contoh dan cara penulisan dalam khat yang membingungkan orang-orang berpengetahuan dan menyulitkanya ketika berinovasi sebagaimana dijelaskan Muhammad Syauqi dalam nasihatnya juga menunjukkan bahwa khat bukanlah suatu ilmu atau kesenian yang statis, tetapi didalamnya terdapat banyak sekali ragam gaya penulisan, karakter, serta inovasi para kaligrafer dari masa ke masa yang membuktikan bahwa khat dengan kata lain kaligrafi Islam berkembang secara dinamis.
Poin nasihat selanjutnya adalah “Dengan khat seorang hamba hina dapat duduk dan memiliki eksistensi di majelis para raja. Jika mati dia menjadi kaya dan seandainya faqir maka sudah seharusnya untuk berupaya keras mencari keterampilan yang mulia ini, sehingga dengan khat dapat tercapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang luhur.”
Apresiasi yang diberikan kepada seseorang salah satu faktornya adalah dilihat dari kompetensi dan ilmunya dalam suatu bidang. Seseorang yang kompeten dan berilmu tentunya akan mendapatkan apresiasi lebih daripada mereka yang kurang bahkan tidak kompeten dan berilmu. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT niscaya akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu (Q.S. Al-Mujadalah: 11).[4] Dalam hal ini seseorang yang kompeten dalam menguasai keterampilan kaligrafi walaupun ia seorang yang tidak memiliki kedudukan tinggi di sisi manusia akan diangkat derajatnya oleh Allah sehingga dapat duduk dan memiliki eksistensi di majelis para raja atau orang yang berkedudukan tinggi.
Syaikh Ibrahim bin Isma’il dalam Syarah Ta’lim al-Muta’alim[5] ketika menjelaskan syair “Belajarlah! karena sesungguhnya ilmu itu menjadi penghias bagi pemiliknya”, beliau mengakhiri pembahasan dengan menjelaskan tentang pentingnya belajar khat dan menulis kemudian menutupnya dengan syair:
تعلم قوام الخط يا ذا التأدب # وما الخط الا زينة المتأدب
فإن كنت ذا مال فخطك زينة # وان كنت محتاجا فافضل مكسب
Yang artinya “Belajarlah kaidah-kaidah khat wahai orang yang berpendidikan; khat yang indah tiada lain adalah hiasan bagi orang yang terpelajar. Jika engkau punya harta yang berkecukupan, maka tulisan indahmu merupakan hiasan; dan jika engkau membutuhkan uang, maka itulah sebaik-baik penghasilan.”
Keterampilan menulis indah atau khat tiada lain merupakan suatu keutamaan dan menjadi nilai tambah bagi orang yang berpendidikan dan orang yang berkecukupan. Adapun bagi orang yang membutuhkan, keterampilan menulis indah dapat menjadi sarana untuk mendapatkan penghasilan dengan mengajarkanya, menjual hasil karyanya, mengikuti event pameran dan perlombaan, atau dengan membuka jasa penulisan kaligrafi dalam berbagai media. Oleh sebab itu, Muhammad Syauqi menegaskan di akhir nasihatnya bahwa sudah seharusnya bagi para pelajar kaligrafi untuk berupaya keras mempelajari keterampilan yang mulia ini, sehingga denganya Insyaa Allah dapat tercapai derajat yang tinggi dan kedudukan yang luhur.
Sebagai penutup, keterangan tahun pada karya nasihat Muhammad Syauqi yaitu 1291 H./1875 M, yang jika dikalkulasi umur beliau ketika penulisan karya kurang lebih 45/46 tahun. Dalam periode perkembangan manusia, usia 35-55 tahun atau yang disebut dengan dewasa madya merupakan periode dimana seseorang telah mencapai kedewasaan dan memasuki fase tengah kehidupannya. Pada masa ini individu telah mencapai stabilitas finansial dan karir, serta mulai memfokuskan pada pertumbuhan pribadi dan pembelajaran seumur hidup. Aspek intelektual, emosi, moral dan spiritual mengalami peningkatan bahkan matang pada fase ini.[6] Sebagai kaligrafer yang berusia 46 tahun, tentunya penyelaman Muhammad Syauqi terhadap samudera kaligrafi sangat dalam sehingga mengerti betul tentang ilmu, seni dan falsafah kaligrafi. Oleh karena itu, sangat penting kiranya untuk kita ketahui, fahami dan resapi bersama nasihatnya ini. Wallahu A’lam.
[1] Abdul Hadi W.M, Cakrawala Budaya Islam, ed. Rusdianto (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 386, 390.
[2] M. Abdul Jabbar Beg, Seni Di Dalam Peradaban Islam (Bandung: Pustaka, 1988).
[3] Musthafa Ughur Derman, “Al-Khattath Muhammad Syauqi Afandi.”
[4] “Surat Al-Mujadilah Ayat 11: Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir,” accessed June 8, 2024, https://quran.nu.or.id/al-mujadilah/11.
[5] Syaikh Ibrahim bin Isma’il, Syarah Ta’lim Al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Madinah, n.d.).
[6] Rahmat Fadli et al., “Perkembangan Masa Dewasa Dini Dan Madya Dalam Implikasinya Pada Pendidikan,” JIIP – Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan 6, no. 9 (September 1, 2023): 6545–51, https://doi.org/10.54371/jiip.v6i9.2793.
Bibliografi
Beg, M. Abdul Jabbar. Seni Di Dalam Peradaban Islam. Bandung: Pustaka, 1988.
Fadli, Rahmat, Dwi Wahyu, Ermis Suryana, and Abdurrahmansyah. “Perkembangan Masa Dewasa Dini Dan Madya Dalam Implikasinya Pada Pendidikan.” JIIP – Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan 6, no. 9 (September 1, 2023): 6545–51. https://doi.org/10.54371/jiip.v6i9.2793.
Isma’il, Syaikh Ibrahim bin. Syarah Ta’lim Al-Muta’allim. Jombang: Maktabah Madinah, n.d.
Musthafa Ughur Derman. “Al-Khattath Muhammad Syauqi Afandi.” In Amsyaq Al-Khattath Muhammad Syauqi Fi Tsuluts Wa Naskh, 2nd ed. Istanbul: IRCICA, 2010.
“Surat Al-Mujadilah Ayat 11: Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir.” Accessed June 8, 2024. https://quran.nu.or.id/al-mujadilah/11.
W.M, Abdul Hadi. Cakrawala Budaya Islam. Edited by Rusdianto. Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.
Penulis : Bukhori Ibnu Athoillah, M. Akhwan Rosyadi
Santri Pondok Pesantren Kaligrafi SAKAL Jombang